Konsep HAM yang pada hakikatnya juga
konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib
politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara
lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi
masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal,
benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara
suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya
perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada
stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi,
pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang
menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat
memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan
batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup
akomodatif.
Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di Indonesia
diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri.
Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam
sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem
hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.- Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan
hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi
antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik.
Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang
rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap
perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem
hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses
pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang.
Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat
dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan
suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam
suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan
menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah
dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan:
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan.
Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara
menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan
perundang-undangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia
sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi.
Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh
lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh
pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan
lainnya sebagai pegangan para pejabat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas,
konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional
membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk
meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat ICCPR.
ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:- Non Derogable
Non Derogable adalah Hak-hak
yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang
termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan,
hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal dari
memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang berlaku
surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan
dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman
sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).
- Derogable
Derogable adalah hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak.
Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara
damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi
anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara pihak
diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut.
Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan
ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga
keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang
lain.
Di Indonesia, selain UUD 1945, keberadaan hak-hak sipil yang sesuai
dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan
perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:- Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
- Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat).
Masih terdapatnya peraturan
perundang-undangan diluar peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur mengenai HAM yang bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu
melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum,
KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak
sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai,
bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang yang
dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari
karakter rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan
sendirinya produk perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak
mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut
sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan
ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling
mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial
dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.
- Struktur Hukum (Legal Structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan secara keseluruhan.
Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum.
Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti
Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum
yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan
lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni
hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi
jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim
lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan
amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk
memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan
adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional
maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik
untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya
penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)
dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar
peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan
kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum.
Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua
lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan
HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan
perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan
normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan
peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses
sampai di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam
kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal,
konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang
berkaitan dengan HAM dan hukum. Pengembangan kapasitas kelembagaan pada
instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan
penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM.
Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM
yakni dengan meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan
unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara
hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai
administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai
pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi
dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga
dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak
memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di
peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar
Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
- Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir
Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat
sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata
pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang
cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang
berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang
sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.
Proses perkembangan masyarakat Indonesia
telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya
asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling
mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi
hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam
arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga
rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem
hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan
Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat
negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit
(tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap
warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa
maupun pihak mayoritas.
referensi: http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/