Sabtu, 20 April 2013

Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia

Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah.
Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif.
Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri. Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.
  1. Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundang-undangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat ICCPR.
ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:
  1. Non Derogable
Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).
  1. Derogable
Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Di Indonesia, selain UUD 1945, keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:
  1. Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
  2. Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat).
Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.
  1. Struktur Hukum (Legal Structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM.
Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
  1. Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.
Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.


referensi: http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/

Kebijakan Menghadapi Globalisasi



1. MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA
• Globalisasi merupakan sebuah realita yang mau tak mau harus dihadapi bila sangsa Indonesia ingin tetap hidup sebagai bangsa yang berdaulat di dunia.
• Cara untuk menghadapidampak globalisasi yaitu dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya melalui pendidikan. Melalui pendidikan yang optimal, bangsa Indonesia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dapat bersaing di kancah dunia Internasional.

2. MENINGKATKAN KUALITAS NILAI KEIMANAN DAN MORALITAS MASYARAKAT
• Globalisasi membuat budaya antar bangsa saling mempengaruhi. Karenanya keberadaan nilai-nilai keimanan dan moralitas menjadi sangat penting. Sebab nilai keimanan dan moralitas menjadi sangat penting. Sebab nilai-nilai keimanan dan moralitas itulah yang mampu mengatasi dampak negatif dari globalisasi.
• Sebagai kaum Muslim, kita hendaknya menanamkan nilai- nilai Islam di kehidupan sehari-
hari. Kita hendaknya menjalankan syariat Islam. Mengetahui mana yang halal dan haram. Sehingga kita dapat memilah-milah pengaruh dari luar.
• Moralitas bangsa juga harus ditingkatkan. Di dalam era globalalisasi ini, moralitas bangsa cenderung menurun kualitasnya. Ini tidak lepas dari tanggung jawab orang tua, guru, dan pemerintah. Salah satu solusinya adalah melaksanakan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.

3. MENDORONG DAN MENDUKUNG UPAYA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MEMPERJUANGKAN KEADILAN ANTARBANGSA
• Salah satu dampak globalisasi adalah saling berkaitannya antara satu negara dengan negara lainnya. Baik dalam bentuk kerjasama ataupun persaingan global.
• Pemerintah Indonesia harus berupaya sekuat tenaga untuk memperjuangkan keadilan dan keseimbangan antarbangsa. Upaya pemerintah tersebut harus selalu didorong dan didukung oleh setiap warga negaranya.
• Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia merupakan 1 diantara 2 negara yang memberikan permohonan agar Israel menghentikan serangan ke Jalur Gaza. Ini membuktikan kepedulian bangsa kita terhadap perdamaian dan peradilan antarbangsa. Maka sebagai warga negara, hendaknya kita mendukung upaya pemerintah.

4. MENDORONG DAN MENDUKUNG UPAYA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENDESAK NEGARA MAJU AGAR MEMBERIKAN DANA PERBAIKAN LINGKUNGAN HIDUP
• Negara maju sangat diuntungkan dengan adanya globalisasi, sebab negara maju banyak yang memiliki perusahaan transnasional. Perusahaan tersebut biasanya berdiri di berbagai negara terutama di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
• Aktifitas perusahaan tersebut membuat lingkungan hidup menjadi rusak oleh pencemaran limbah atau asap pabriknya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah negara-negara maju menyisihkan uang guna mendanai upaya-upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup.
• Tindakan ini sangat pantas diambil oleh Indonesia, karna buktinya banyak sekali hutan yang dijadikan perindustrian. Lahan hijau pun semakin sulit ditemukan di saerah perindustrian. Untuk memulihkan keadaan, Indonesia butuh dana dari perusahaan asing tersebut.

5. MENINGKATKAN JIWA DAN SEMANGAT PERSATUAN, KESATUAN, DAN NASIONALISME
• Adanya globalisasi menjadi suatu tantangan yang berat bagi negara berkembang yang belum maju dan kuat. Negara yang masyarakatnya tidak mempunyai jiwa dan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme yang kuat akan dengan mudah dipermainkan oleh negara-negara maju. Oleh karna itu, semangat dan jiwa persatuan, kesatuan dan nasionalisme harus terus ditingkatkan oleh seluruh rakyat
Indonesia.
• Bila jiwa dan semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme telah tertanam dengan kuat pada setiap warga negara Indonesia tidak akan mudah dipermainkan oleh negara-negara yang kuat dan maju.

6. MELESTARIKAN KEBUDAYAAN DAN ADAT ISTIADAT DAERAH
• Globalisasi membuat budaya luar dapat dengan mudah kita ketahui. Pengetahuan akan budaya luar terkadang membuat masyarakat lebih menyukainya daripada budaya daerah sendiri.
• Menyukai kebudayaan luar adalah hal yang wajar. Namun kita harus tetap melestarikan kebudayaan kita sendiri. Jangan sampai kebudayaan kita punah begitu saja seiring dengan waktu. Apalagi kebudayaan itu seenaknya saja diambil oleh bangsa lain. Betapa malunya kita?
• Walaupun zaman kini telah serba modern, kita harus tetap berpegang teguh kepada adat istiadat. Apalagi kita sebagai masyarakat Minangkabau, dimana “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”.


referensi: http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130225063214AArhQSI

Dukun di Era Globalisasi


Dukun atau bahasa kerennya paranormal sudah ada semenjak zaman dulu kala. Sampai sekarang peredaran paranormal pun mengikuti perkembangan zaman. Orang yang melakukan perdukunan biasanya tidak sendiri, mereka biasanya terdiri dari beberapa orang merupakan satu TIM yang modus operasinya adalah penipuan. Untuk mencari mangsa ada orang-orang yang bertindak sebagai orang yang mempromosikan bidang keahlian si dukun itu, padahal promosinya omong kosong dan penipu. Jika ada mangsa yang sudah masuk perangkap maka mulai diadakan perjanjian untuk pergi ke rumah sang Dukun. Dengan trik perdukunan si Mbah Dukun bisa menebak isi hati dan kemauan pasien, inilah salah satu penipuan yang bisa menjatuhkan martabat Dukun yang asli.



Pada mulanya Dukun adalah orang-orang penolong tanpa pamrih. Dengan adanya Penipu yang menyamar sebagai Dukun ini maka dikenalah istilah Perdukunan yang nilainya negatif di masyarakat luas yaitu diasosiakan sebagai Seorang penipu.

Bisa dilihat dari perkembangan namanya saja. Dulu dikenal dukun, sekarang ada paranormal. Bahkan ada yang menyebut “orang pintar”. (coba bandingkan, kita aja yang udah capek-capek kuliah ga disebut orang pintar juga). Dari segi meramalnya pun sudah modern. Yang dahulu pake kemenyan dan kembang tujuh rupa, sekarang sudah ada teknologi yang canggih. Hanya dengan sms ketik reg spasi weton kirim ke nomere simbah.

Secara teknologi, dukun pun mengalami era globalisasi (uiih..). Tidak hanya di dunia nyata, namun sudah merambah ke dunia maya. Contoh selain lewat “ketik reg”, beberapa waktu terakhir, saya sempat tergelitik melihat sebuah aplikasi di facebook. Aplikasi ini bisa meramal seseorang. Mulai aplikasi yang bisa meramal tentang pekerjaan 10 tahun kedepan, pernikahan, bahkan sempet saya pernah melihat ada yang bisa meramal kematian seseorang.

Hmm, aneh-aneh saja memang. Namun yang saya soroti disini adalah ketika seseorang menggunakan aplikasi tersebut, sadar atau tidak sadar akidah sesorang seperti tergadaikan. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada unsur kesungguhan seseorang dalam mempercayai aplikasi semacam itu. Namun, dengan modal keisengan saja, setan bisa menjerumuskan manusia kedalam hal-hal yang mungkin sih kelihatan “remeh”, namun secara tidak sadar kita terbawa tipu daya setan, yaitu dosa besar (syirik).
Barangsiapa mendatangi dukun maka tidak akan diterima sholatnya selama 40 hari. (Shahih Muslim)
Iseng memang iseng. Tapi kalo udah bermain-main terhadap akidah, saya rasa itu bukan iseng namanya. Ya, tipu daya setan memang halus. Nasihat ini khususnya untuk diri saya pribadi dan semoga kita terhindar dari hal-hal yang dapat membatal keimanan, baik yang samar apalagi yang terlihat jelas. Nauzubillah min dzalik. Yang benar datangnya dari Allah, jika ada yang salah murni kesalahan saya sebagai manusia. Wallahu a’lam bisshowwab.


http://id.wikipedia.org/wiki/Perdukunan
http://darmawanpost.wordpress.com/2012/04/28/dukun-facebook/

Albar Residence | Citayem (Cash atau KPR Syariah)

  Bismillaah Solusi Rumah Syariah Murah untuk anda yang bekerja di Jakarta, Dekat dengan Stasiun. Albar Residence  Dengan lokasi yang dekat ...